Seringkali untuk mengajar di SD Kelas
Jauh Kutakarang, Mamat Basuni berjalan kaki selama tiga jam. Namun jarak
tak membuatnya menjadi kendur mengajar anak di daerah terpencil.
Mamat Basuni (59) adalah guru yang bertugas di SDN Kutakarang 3 di Kecamatan Cibitung, Pandeglang. Pria kelahiran Jakarta ini sejak diangkat menjadi PNS pada 1977 sama sekali belum pernah mendapat tugas mengajar di daerah perkotaan.
Mamat Basuni (59) adalah guru yang bertugas di SDN Kutakarang 3 di Kecamatan Cibitung, Pandeglang. Pria kelahiran Jakarta ini sejak diangkat menjadi PNS pada 1977 sama sekali belum pernah mendapat tugas mengajar di daerah perkotaan.
Saat wartawan bertemu dengan
Basuni, di kantor UPT Dindikbud Cibitung, pria ini
terlihat senang kedatangan tamu dari “kota”. Pertemuan kami tidak
mendadak, sebab sehari sebelumnya kami sudah mengatur janji bertemu
dengan Kepala UPT Sarmedi.
Pagi itu sekitar pukul 08.00 WIB,
Sarmedi memperkenalkan wartawan kepada Mamat Basuni dan dua guru
lainnya. Saat itu, tujuan kami bukan ke SDN Kutakarang 3 induk di
Kampung Cibitung, melainkan di kelas jauh (filial) yang berlokasi di
Kampung Pamatanglaja, Pandeglang.
“Perjalanan menuju kelas jauh itu
kira-kira dua jam. Itu juga kalau tidak hujan,” kata Sarmedi sesaat
sebelum melepas rombongan wartawan
Akhirnya tiga sepeda motor yang
ditumpangi wartawan, dua guru dan Mamat Basuni mulai menelusuri tiap
jengkal jalan menuju Kampung Pamatanglaja. Beruntung pagi itu cuaca
cerah, tidak ada tanda-tanda akan turun hujan.
Namun karena musim hujan, genangan air
masih terlihat di jalan yang memang kondisinya memprihatinkan. Badan
jalan rusak dan licin, membuat kami harus ekstra hari-hati mengendarai
motor. Lengah sedikit, pasti jatuh.
Ya, kami pun jadi korban jalan licin
itu. Tetap di tengah hutan, motor yang kami tumpangi jatuh dan membuat
kaki sedikit memar. Motor yang ditumpangi Mamat Basuni juga mengalami
hal serupa. Mamat jatuh akibat gumpalan tanah di ban motor yang membuat
laju motor tidak stabil.
Meski sebagian jalan rusak, namun
beberapa kilometer di salah satu desa, jalannya sudah dibeton. Mulus.
Namun setelah itu, kami memasuki kawasan “off road” dan hutan belantara.
Tak ada warung untuk disinggahi, apalagi penjual bahan bakar.
Perjalanan menuju kelas jauh
Pamatanglaja, benar-benar tak bisa dilupakan. Rombongan kami sempat
tersesat di sebuah kawasan perbukitan. Di tanah bukit yang sangat luas
milik negara itu tidak ada penunjuk arah. Perbukitan yang langsung
berhadapan dengan Samudra Indonesia itu memang tidak memiliki alur jalan
yang biasa dilalui manusia.
Mamat Basuni dan dua guru lainnya yang
biasa pulang pergi menuju sekolah kelas jauh sepertinya “keder”
menemukan jalan menuju Kampung Pamatanglaja. Waktu terus berjalan,
matahari mulai membakar kulit, kami pun berhenti sejenak mencari arah
jalan yang benar menuju Pamatanglaja. Setelah Basuni mengingat-ngingat
arah jalan, satu jam kemudian akhirnya kami sampai di kampung tujuan.
Bangunan sekolah yang berdiri sejak 2007
ini dari kejauhan terlihat seperti gubug petani di sawah. Memasuki
gerbang yang terbuat dari bambu, sejumlah guru TKS menyambut kami
lengkap bersama seteko air putih. Air itu terasa lebih nikmat dari
biasanya menyirami kering tenggorokan.
Tak lama kemudian, Mamat Basuni yang
juga Kepala SDN Katukarang 3 mengajak kami melihat lebih dekat kegiatan
belajar mengajar di enam ruang kelas. Ia juga menunjukkan ruang guru
yang tak lain, ruang kelas yang disekat. Di ruang sempit ini ada tiga
meja yang sebagian sudah dimakan rayap. Lantainya masih beralas tanah.
Di dinding terpasang sejumlah gambar pahlawan hasil karya para murid.
“Ini ruangan guru. Meski sangat sederhana tapi kami tetap bersyukur dan bisa mendidik anak-anak di kampung ini,” ujar Mamat.
Setelah itu, pria lulusan SI pendidikan UNMA Banten itu, mengajak kami masuk ke ruang kelas tiga. Di sana Mamat menyempatkan diri mengajar pelajaran kewarganegaraan.
“Anak-anak bapak hari ini kedatangan
wartawan dari Pandeglang. Mereka ingin melihat kita dan nanti dilihat
oleh orang di kota sana. Tugas wartawan itu sangat mulia, siapa di
antara kalian yang mau jadi wartawan,” tanya Mamat kepada
murid-muridnya.
Tujuh murid kelas tiga yang hadir saat itu hanya terdiam. Sepertinya mereka masih bingung dengan profesi wartawan.
Seperti di ruang kelas tiga, di lima ruangan lain kondisinya serupa. Alas masih tanah, dinding dari bilik bambu, atap asbes, meja dan kursi reyot, serta pintu dan jendela seadanya.
Tujuh murid kelas tiga yang hadir saat itu hanya terdiam. Sepertinya mereka masih bingung dengan profesi wartawan.
Seperti di ruang kelas tiga, di lima ruangan lain kondisinya serupa. Alas masih tanah, dinding dari bilik bambu, atap asbes, meja dan kursi reyot, serta pintu dan jendela seadanya.
“Ini atap baru diganti sepuluh hari
lalu, tadinya mah hateup (rumbia) kami dapat bantuan asbes dari LSM yang
peduli dan kami sangat berterima kasih,
Mamat Basuni menceritakan, sekolah kelas jauh yang didirikan itu atas permintaan warga kampung Bunihiyeum, Pamatanglaja dan sekitarnya. Sebab, jika tidak ada sekolah SD, warga di sana akan sangat kesulitan belajar di SDN Kurakarang 3, karena jarak yang sangat jauh. Akhirnya, pada 2007 bermodal tekad dan gotong royong, berdiri SD Kutakarang kelas jauh.
Mamat Basuni menceritakan, sekolah kelas jauh yang didirikan itu atas permintaan warga kampung Bunihiyeum, Pamatanglaja dan sekitarnya. Sebab, jika tidak ada sekolah SD, warga di sana akan sangat kesulitan belajar di SDN Kurakarang 3, karena jarak yang sangat jauh. Akhirnya, pada 2007 bermodal tekad dan gotong royong, berdiri SD Kutakarang kelas jauh.
Sambutan atas SD kelas jauh ini sangat
positif. Para orang tua sangat senang dan para siswa sangat antusias
mengikuti proses belajar mengajar.
“Tradisi di Kampung Pamatanglaja ini kalau musim tanam banyak warga pendatang dan mereka membawa anak-anaknya untuk waktu yang cukup lama. Anak-anak ini juga membantu orang tua di ladang. Nah karena harus tetap sekolah maka dibuatlah kelas jauh ini,” paparnya.
Soal jumlah tenaga pengajar, menurut Basuni, jumlah guru baik di SD induk maupun kelas jauh berjumlah 17 orang. Lima orang berstatus PNS dan sisanya 12 orang guru TKS. Seluruh guru harus berbagai tugas mengajar di dua lokasi. Guru PNS diwajibkan dalam seminggu mengajar di kelas jauh minimal dua hari. Sementara guru TKS ada beberapa yang stand by di kelas jauh.
“Biasanya kalau mengajar di kelas jauh tidak bisa pulang pergi. Jadi kita menginap di rumah warga. Kalau musim kemarau saya naik motor sekitar dua jam perjalanan baru bisa sampai di sekolah ini,” ungkap Basuni.
Namun jika musim hujan, lanjutnya,
jangan harap bisa membawa motor. Jalanan licin dan banyak genangan air.
Pilihannya, Basuni berjalan kaki dari SDN Kutakarang 3 menuju lokasi
selama tiga jam. “Nah kalau musim hujan begini lebih baik jalan kaki.
Saya dan guru lain sering melakukannya,” ujar Basuni.
“Jika saya datang mereka (murid) sangat senang dan sebaliknya jika saya pulang mereka sangat sedih. Seperti anak yang ditinggalkan orangtuanya. Jujur saya sering merasa berat meninggalkan mereka,” ungkapnya.
“Jika saya datang mereka (murid) sangat senang dan sebaliknya jika saya pulang mereka sangat sedih. Seperti anak yang ditinggalkan orangtuanya. Jujur saya sering merasa berat meninggalkan mereka,” ungkapnya.
Semangat Gotong Royong & Kekeluargaan
Satu hal yang paling berkesan selama
mengajar di daerah itu, menurut Basuni adalah sikap kekeluargaan yang
masih kental. Setiap kenaikan kelas dan acara perpisahan misalnya, para
orang tua selalu mengadakan syukuran di sekolah. Walau sederhana,
syukuran itu terasa menyentuh. Para orang tua dengan sukarela membawa
nasi dan lauk pauk untuk disantap bersama. Mereka juga menyiapkan
hiburan seperti pentas seni, dan tarian tradisional.
“Kalau moment seperti itu sangat mengharukan. Orang tua, guru dan murid seperti satu keluarga. Bahkan tidak jarang ketika musim panen orang tua memberi kami hasil panen seperti beras, pisang atau jagung.”
“Kalau moment seperti itu sangat mengharukan. Orang tua, guru dan murid seperti satu keluarga. Bahkan tidak jarang ketika musim panen orang tua memberi kami hasil panen seperti beras, pisang atau jagung.”
90 Muridnya Tak Memakai Sepatu
Namun ada hal yang cukup memprihatinkan.
Dari 90 murid terlihat tidak ada satupun yang memakai sepatu. Sebagian
hanya memakai sandal jepit, bahkan sebagian lagi tanpa alas kaki.
Badri (7 thn) siswa kelas satu saat ditanya berharap sekolahnya segera dibangun agar sama seperti sekolah-sekolah di perkotaan. “Pengennya sih sekolah ini segera dibangun. Pakai sepatu, buku dan seragama yang bagus,” ujar anak yang bercita-cita jadi polisi ini.
Badri (7 thn) siswa kelas satu saat ditanya berharap sekolahnya segera dibangun agar sama seperti sekolah-sekolah di perkotaan. “Pengennya sih sekolah ini segera dibangun. Pakai sepatu, buku dan seragama yang bagus,” ujar anak yang bercita-cita jadi polisi ini.
Badri yang tinggal di Kampung Bunihiem
harus berjalan kaki sekitar dua kilometer untuk sampai ke sekolahnya. Ia
terpaksa berjalan kaki karena tidak ada angkutan umum. Setiap hari,
kaki kecilnya menelusuri perkebunan dan jalan setapak.
“Kami semua berjalan kaki. Tidak ada yang diantar orang tua. Tiap hari hanya diberi uang jajan Rp2000, tapi uang itu utuh karena di sekolah tidak ada yang jualan,” ucap Badri yang mengenakan seragam putih yang menguning dan celana merah dengan resleting rusak.
“Kami semua berjalan kaki. Tidak ada yang diantar orang tua. Tiap hari hanya diberi uang jajan Rp2000, tapi uang itu utuh karena di sekolah tidak ada yang jualan,” ucap Badri yang mengenakan seragam putih yang menguning dan celana merah dengan resleting rusak.
Tak terasa, terik matahari kian menyengat dan rupanya waktu sudah menunjukkan pukul 11.15 WIB. Lantas, kami pun berpamitan pulang ke “kota”. Tidak berani pulang sendiri, kami meminta pengawalan sampai ke perkampungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar