PANDEGLANG- Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Pandeglang Siswara mengungkapkan,
belum semua warga Kabupaten Pandeglang bisa melanjutkan pendidikan ke
jenjang SLTA. Setiap tahunnya, tercatat ada 6.000 lebih lulusan SMP
terpaksa menjadi pengangguran atau pekerja kasar. Kondisi ini disebabkan
sejumlah faktor antara lain sarana transportasi yang mahal dan sebaran
lembaga pendidikan SLTA yang tidak merata.
“Setiap tahun ada 6.000 lebih lulusan
SLTP yang tidak bisa melanjutkan sekolah. Jumlah ini sangat
mengkhawatirkan dan jika tidak segera dicarikan solusinya maka generasi
bodoh akan tercipta di Pandeglang,” kata Siswara di temui di SMKN 3
Labuan, kemarin.
Lulusan SLTA yang enggan melanjutkan sekolah disebabkan karena faktor geografis dimana jarak rumah warga dengan lembaga pendidikan masih tidak rasional. Ia mencontohkan di Desa Rancecet Kecamatan Cimanggu, orang tua siswa harus berpikir dua kali untuk menyekolahkan anak ke SLTA lantaran setiap hari harus mengeluarkan uang minimal Rp 35 ribu untuk transportasi lantaran jarak rumah dengan sekolah jauh dan jalannya rusak.
“Dengan mahalnya ongkos ke sekolah ini para orang tua rata-rata memilih anaknya bekerja untuk menghasilkan uang ketimbang membuang uang. Persoalan ini bisa dipecahkan dengan mendekatkan lembaga pendidikan masyarakat,” jelasnya.
Mendekatkan pendidikan dengan masyarakat, kata Ketua STISIP Banten Raya ini, tidak musti mendirikan unit sekolah baru. Apalagi saat ini teknologi berkembang pesat sehingga bisa dipakai untuk mempermudah masyarakat belajar.
“Pola belajar kelas jauh dengan memanfaatkan tenaga pendidikan terdekat bisa digunakan untuk memotivasi lulusan SLTP melanjutkan ke SLTA. Saya yakin ini bisa jika semua pihak yang terkait mau,” tandasnya.
Kabid SMA Dindikbud Pandeglang Hendri MII tidak membantah jika sebaran pendidikan SLTA masih rendah. “Memang masih banyak warga yang enggan melanjutkan ke SLTA dengan alasan ongkos mahal.
Masalah ini terus kami pikirkan solusinya karena kalau didiamkan angka rata-rata usia sekolah Pandeglang sulit naik. Saat ini rata-rata Pandeglang masih 7 tahun 1 bulan. Artinya setara dengan lulusan SD,” terang Hendri.Pria berkacamata ini sepakat dilakukan pola sekolah kelas jauh dengan memanfaatkan teknologi informasi. “Perkembangan teknologi inforasmi memang harus dimanfaatkan untuk dunia pendidikan,” katanya.
Lulusan SLTA yang enggan melanjutkan sekolah disebabkan karena faktor geografis dimana jarak rumah warga dengan lembaga pendidikan masih tidak rasional. Ia mencontohkan di Desa Rancecet Kecamatan Cimanggu, orang tua siswa harus berpikir dua kali untuk menyekolahkan anak ke SLTA lantaran setiap hari harus mengeluarkan uang minimal Rp 35 ribu untuk transportasi lantaran jarak rumah dengan sekolah jauh dan jalannya rusak.
“Dengan mahalnya ongkos ke sekolah ini para orang tua rata-rata memilih anaknya bekerja untuk menghasilkan uang ketimbang membuang uang. Persoalan ini bisa dipecahkan dengan mendekatkan lembaga pendidikan masyarakat,” jelasnya.
Mendekatkan pendidikan dengan masyarakat, kata Ketua STISIP Banten Raya ini, tidak musti mendirikan unit sekolah baru. Apalagi saat ini teknologi berkembang pesat sehingga bisa dipakai untuk mempermudah masyarakat belajar.
“Pola belajar kelas jauh dengan memanfaatkan tenaga pendidikan terdekat bisa digunakan untuk memotivasi lulusan SLTP melanjutkan ke SLTA. Saya yakin ini bisa jika semua pihak yang terkait mau,” tandasnya.
Kabid SMA Dindikbud Pandeglang Hendri MII tidak membantah jika sebaran pendidikan SLTA masih rendah. “Memang masih banyak warga yang enggan melanjutkan ke SLTA dengan alasan ongkos mahal.
Masalah ini terus kami pikirkan solusinya karena kalau didiamkan angka rata-rata usia sekolah Pandeglang sulit naik. Saat ini rata-rata Pandeglang masih 7 tahun 1 bulan. Artinya setara dengan lulusan SD,” terang Hendri.Pria berkacamata ini sepakat dilakukan pola sekolah kelas jauh dengan memanfaatkan teknologi informasi. “Perkembangan teknologi inforasmi memang harus dimanfaatkan untuk dunia pendidikan,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar